Kami Dianggap Aneh, Tapi Ada SETIAP kelompok masyarakat adat di seluruh Indonesia memiliki keunikan sendiri dalam berpakaian. Ada yang identik dengan warna-warna cerah, ada pula yang menonjolkan aksesoris sebagai ciri khas daerahnya. Masyarakat Dayak Losarang, atau yang juga dikenal sebagai Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu juga punya cara sendiri dalam berpakaian. Mereka, ada yang memilih berpakaian hitam-hitam, ada pula yang memilih bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana tiga perempat berwarna hitam putih. Pilihan-pilihan ini bukan tanpa makna. Salah seorang anggota masyarakat Dayak Losarang, Dedi menceritakan, bagi sebagian orang, cara berpakaian mereka memang dianggap aneh. Namun, lama kelamaan kehadiran mereka dianggap biasa dan menjadi keunikan yang menambah kekayaan budaya masyarakat adat di Indonesia. "Orang akan melihat kami aneh, tapi inilah kami. Kata orang, kami seperti orang-orang, seperti orang terbelakang," kata Dedi yang ditemui saat mengikuti Upacara Seren Taun 2008 di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, Sabtu (20/12) lalu. Jangankan orang lain, keluarga Dedi pun awalnya kontra dengan pilihannya bergabung di masyarakat adat Dayak Losarang dan pilihan caranya berpakaian. Namun, lama kelamaan, keluarganya menghormati jalan yang dipilihnya. "Asalkan tidak merugikan orang lain," katanya. Masyarakat adat Dayak Losarang berbasis di Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Dedi, sudah 8 tahun memutuskan untuk melepaskan pakaian yang menempel di tubuhnya. Selama 8 tahun, ia hanya menutup tubuhnya dengan celana hitam putih sebetis itu. Saat ditanya, apa tak kedinginan atau kepanasan dengan cara berpakaian seperti itu, pemuda berusia 30-an tahun ini hanya tertawa. "Semua orang tanya begitu, sudahlah tidak usah diungkapkan," ujarnya.
Ada ritual yang harus dijalani, sebelum memutuskan menanggalkan pakaian. Selama 4 bulan tidur berendam di sungai, dan siang harinya berjemur di tengah terik panas matahari. Ia menceritakan ritual tersebut dilakukan sejak pukul 12 malam hingga 6 pagi, tidur berendam di salah satu sungai di Losarang.
"Awalnya, kita juga berawal dari orang-orang yang pola hidupnya instan, berpakaian seperti orang pada umumnya. Kemudian, ada yang mencapai step berikutnya dengan mengubah pola hidup yang utopis seperti ini. Prosesnya memang bertahap, dengan sejarah alam ngadi rasa. Sebelum bertelanjang dada, Bapak (Takhmad, sesepuh Dayak Losarang) memakai pakaian hitam-hitam. Maka, pengikutnya mengikuti, tujuannya untuk mengukur kapasitas kesabaran," kata Dedi menjelaskan.
Cara berpakaian seperti ini, menurutnya merupakan cara untuk menyatukan diri dengan alam. Ritual berendam di sungai dan berjemur di panas matahari, dilakukan selama 4 bulan dalam 1 tahun. Dengan melakukan ritual ini secara rutin, maka akan menanggalkan hawa panas dan dingin yang dirasakan tubuh.
"Asumsi orang memang macam-macam. Ada yang bilang mencari kesaktian lah, ada yang bilang mau jadi dukun. Padahal, pondasinya melatih kesabaran. Kadang kalau lagi berendam, tiba-tiba ada ular di kantong celana. Tapi semua sudah biasa," ungkap Dedi.
Sebagian besar masyarakat adat Dayak Losarang juga terlihat khas dengan rambutnya yang dibiarkan panjang (gondrong). Meski enggan menjelaskan, kata Dedi, semua itu juga dilakukan karena ada makna yang terkandung dibalik pilihan tersebut. Ia hanya bersedia menceritakan, mengapa masyarakat komunitasnya memilih menggunakan pakaian berwarna hitam putih dan menggunakan gelang serta kalung yang terbuat dari potongan bambu.
"Gelang dan kalung itu kan terbuat dari potongan-potongan bambu yang disatukan dengan seutas tali. Ini melambangkan perjuangan dan persatuan, bahwa yang terpisah-pisah itu kalau diikatkan akan bisa berfungsi," ujarnya. (Inggried Dwi Wedhaswary).
Berkometarlah dengan bahasa yang sopan.
Bck